Sabtu, 03 Desember 2011

ziarah kubur adat jawa

Bagi masyarakat Jawa makam merupakan tempat yang dianggap suci dan pantas dihormati. Makam sebagai tempat peristirahatan bagi arwah nenek moyang dan keluarga yang telah meninggal. Keberadaan makam dari tokoh tertentu menimbulkan daya tarik bagi masyarakat untuk melakukan aktivitas ziarah dengan berbagai motivasi. Kunjungan ke makam pada dasarnya merupakan tradisi agama Hindu yang pada masa lampau berupa pemujaan terhadap roh leluhur. Candi pada awalnya adalah tempat abu jenazah raja raja masa lampau dan para generasi penerus mengadakan pemujaan di tempat itu. Makam, terutama makam tokoh sejarah, tokoh mitos, atau tokoh agama, juga merupakan tujuan wisata rohani yang banyak dikunjungi wisatawan baik dalam negeri maupun luar negeri.
Ziarah makam merupakan satu dari sekian tradisi yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Jawa. Berbagai maksud dan tujuan maupun motivasi selalu menyertai aktivitas ziarah. Ziarah kubur yang dilakukan oleh orang Jawa ke makam yang dianggap keramat sebenarnya akibat pengaruh masa Jawa-Hindu. Pada masa itu, kedudukan raja masih dianggap sebagai titising dewa sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengan seorang raja masih dianggap keramat termasuk makam, petilasan, maupun benda-benda peninggalan lainnya.
Kepercayaan masyarakat pada masa Jawa-Hindu masih terbawa hingga saat ini. Banyak orang beranggapan bahwa dengan berziarah ke makam leluhur atau tokoh – tokoh magis tertentu dapat menimbulkan pengaruh tertentu. Kisah keunggulan atau keistimewaan tokoh yang dimakamkan merupakan daya tarik bagi masyarakat untuk mewujudkan keinginannya. Misalnya dengan mengunjungi atau berziarah ke makam tokoh yang berpangkat tinggi, maka akan mendapatkan berkah berupa pangkat yang tinggi pula.
Bagi masyarakat Jawa, ziarah secara umum dilakukan pada pertengahan sampai akhir bulan Ruwah menjelang Ramadhan. Pada saat itu masyarakat biasanya secara bersama-sama satu dusun atau satu desa maupun perorangan dengan keluarga terdekat melakukan tradisi ziarah ke makam leluhur. Kegiatan ziarah ini secara umum disebut nyadran. Kata nyadran berarti slametan (sesaji) ing papan kang kramat.
Selamatan (memberi sesaji) di tempat yang angker /keramat.
Kata nyadran juga memiliki pengertian lain yaitu slametan ing sasi Ruwah nylameti para leluwur (kang lumrah ana ing kuburan utawa papan sing kramat ngiras reresik tuwin ngirim kembang) selamatan di bulan Ruwah menghormati para leluhur (biasanya di makam atau tempat yang keramat sekaligus membersihkan dan mengirim bunga).
Di daerah-daerah yang mempunyai tempat bersejarah, agak berbau angker, pantai-pantai, goa-goa, yang punya kisah tersendiri biasanya mempunyai upacara adat yang disebut nyadran. Tak ubahnya dengan makna upacara-upacara adat yang lain, nyadran ini juga mengandung makna religius. Ada yang dengan jalan memasang sesaji di tempat itu selama tiga hari berturut turut, ada yang dengan cara melabuh makanan yang telah ‘diramu’ dengan berbagai macam kembang. Ada pula yang mengadakan kenduri dengan makanan makanan yang enak, lalu diadakan pertunjukan besar-besaran dan sebagainya.
Kebiasaan mengunjungi makam sebenarnya merupakan pengaruh dari kebiasaan mengunjungi candi atau tempat suci lainnya di masa dahulu dengan tujuan melakukan pemujaan terhadap roh nenek moyang. Kebiasaan ini semakin mendalam jika yang dikunjungi adalah tokoh yang mempunyai kharisma tertentu, mempunyai kedudukan tertentu seperti raja, ulama, pemuka agama, tokoh mistik, dan sebagainya.
Dengan berkembangnya jaman, berkembang pula pemahaman manusia tentang ziarah, bahkan muncul berbagai maksud, tujuan, motivasi maupun daya tarik dari aktivitas ziarah ini.
Ziarah Sebagai Ungkapan Doa Bagi Arwah Leluhur
Secara umum ziarah yang dilakukan menjelang bulan Ramadhan bagi masyarakat Jawa mempunyai maksud untuk mendoakan arwah leluhur mereka. Masyarakat biasanya secara bersama-sama mengadakan kerja bakti membersihkan makam desa atau dusun dengan segala tradisi dan adat kebiasaan yang berlaku secara turun temurun. Ada juga yang dilengkapi dengan mengadakan kenduri bersama di makam, atau di rumah kepala dusun mereka. Pada umumnya mereka mengadakan sesaji dengan tidak lupa membuat kolak dan apem. Tradisi ini biasa disebut ruwahan, sesuai dengan bulan diadakannya yaitu bulan Ruwah.
Bagi keluarga-keluarga tertentu biasanya telah diadakan kesepakatan untuk nyadran pada hari ke berapa dalam bulan Ruwah tersebut. Mereka yang berada jauh dari makam selalu menyempatkan diri untuk dapat bersama-sama mengunjungi makam keluarga mereka. Pada waktu ziarah tidak lupa mereka juga membawa bunga tabor untuk ditaburkan ke pusara makam keluarga mereka. Setiap keluarga biasanya mengajak serta anggota keluarga supaya mereka mengetahui dan mengenal para leluhur yang telah dimakamkan di situ. Adanya tradisi nyadran ini menimbulkan berbagai aktivitas yang muncul hanya pada saat tertentu yaitu hari-hari menjelang masyarakat melakukan kegiatan nyadran.
Aktivitas yang dapat dikatakan insidental ini seperti misalnya penjualan bunga tabur yang meningkat tajam pada hari-hari sejak pertengahan bulan Ruwah. Hal ini dikarenakan masyarakat yang nyadran sudah dipastikan akan memerlukan bunga tabor untuk nyekar di makam leluhur mereka.
Karenanya tidak aneh apabila pada saat-saat itu penjual bunga mulai marak, baik penjual yang memang biasanya sehari-hari berjualan bunga ataupun penjual bunga tiban, mereka hanya berjualan bunga pada saat-saat hari ramai nyekar.
Terkait dengan tradisi nyekar atau nyadran ini muncul pula aktivitas lain berupa jasa tenaga membersihkan makam. Di berbagai makam muncul para penyedia jasa untuk membersihkan makam keluarga tertentu dengan sedikit imbalan. Mereka biasanya berada di sekitar makam dan membersihkan makam bagi keluarga yang datang untuk ziarah.
Dalam hal ini tradisi ziarah mempunyai fungsi untuk mengingatkan kita yang masih hidup bahwa suatu saat kematian akan kita alami. Selain itu juga seperti telah disebutkan dalam uraian di atas, bahwa ziarah
makam akan menimbulkan ikatan batin antara yang masih hidup dengan leluhur yang telah meninggal.

mitos budaya jawa

 mau tau mitos tentang ratu kidul,klik disini

Mitos Orang Jawa Seputar Ari-ari

ANGGAPAN bahwa ari-ari merupakan saudara kembar dari si bayi sah-sah saja. Mitos ini muncul karena sepanjang sejarah kehamilan, ari-ari (plasenta) selalu mendampingi sang janin. Jadi, sebenarnya bayi berharap banyak dari "teman seperjuangannya" selama dalam kandungan ibu, sebagai sumber makanan bagi janin. Nah, berharap banyak itu lah yang didengungkan orangtua pada budaya mengubur ari-ari.

Sesuai dengan mitos, budaya dan filosofinya, tata cara perlakuan ari-ari juga berbeda dari satu daerah ke daerah yang lainnya. Tak heran, ada tradisi yang memerlakukan secara khusus sesuai adat istiadat mereka masing-masing. Antara lain:

Mitos orang Jawa

Menguburkan ari-ari dalam tanah dengan harapan agar si anak dekat dengan keluarganya, merasa hangat dan tentram dalam keluarganya. Selalu berkumpul walau dalam keadaan apapun juga. Mangan ora mangan, asal ngumpul.

Mitos orang Medan, Minang (Padang), Cina, Wajo, Bugis, Makassar

Melarung ari-ari ke laut, agar si anak mobilitasnya tinggi dan dapat merantau kemana-mana dan dapat menguasai alam raya ini.

Mitos orang Tengger

Digantung dengan kendil di depan rumah, agar si anak tidak jauh dari tanah kelahirannya.

Mitos orang Bone

Mengubur ari-ari di bawah pohon kelapa. Harapannya agar kelak memiliki martabat tinggi sekaligus memberikan banyak manfaat bagi masyarakat. Potongan plasenta dan ari-ari dibungkus menyerupai bantal kecil sebesar jempol, di selipkan di pinggang sebagai pelindung bala atau marabahaya.

nujuh bulanan budaya jawa

Sesuai dengan adat istiadat Jawa, untuk calon ibu yg sedang mengandung anak pertama dan usia kehamilan memasuki bulan ke 7, dilaksanakan upacara nujuh bulanan (mitoni) sebagai upacara syukuran agar janin yg sedang dikandung senantiasa memperoleh keselamatan.
Adapun bagian dari upacara mitoni ini terdiri dari :

Sungkeman

Yaitu calon ibu & ayah sungkem kepada ke 2 orang tua, memohon doa restu kiranya kehamilan ini bisa berjalan dengan lancar sampai dengan persalinan nantinya.

Siraman (mandi kembang dari 7 mata air yg berbeda )
Mempunyai makna pernyataan tanda pembersihan diri, baik fisik maupun jiwa calon ibu sehingga kelak melahirkan anak tidak mempunyai beban moral sehingga proses kelahirannya menjadi lancar. 7 orang wakil keluarga yg dituakan dipilih untuk melakukan siraman. Bagi yg menyiram akan diberikan souvenir cantik berisi 7 macam pernak-pernik yg dikemas cantik. Isinya (biasanya) berupa: pensil, handuk, sisir, benang, sermin, jarum, dan sabun.

Memasukkan telor ayam kampung ke dalam kain

Upacara memasukkan telor ayam kampung ke dalam kain (sarung) si calon ibu oleh calon ayah dari atas perut lalu telur dilepas, sebagai simbol harapan agar bayi lahir dengan mudah tanpa aral melintang. Juga mempunyai makna kalau telur pecah artinya bayinya kelak perempuan, dan kalau telurnya tidak pecah artinya kelak bayinya laki2.

Upacara brojolan

Yaitu memasukkan sepasang cengkir (kelapa muda) yang telah digambari Kamajaya dan Dewi Ratih (Secara simbolis gambar Kamajaya dan Dewi Ratih, tokoh ideal orang Jawa, melambangkan kalau si bayi lahir akan elok rupawan dan memiliki sifat-sifat luhur seperti tokoh yang digambarkan tersebut) ke dalam sarung dari atas perut calon ibu ke bawah, yang dilakukan oleh nenek calon bayi (ibunda calon ibu) dan diterima oleh Mama mertua. Makna simbolis dari upacara ini adalah agar kelak bayi lahir dengan mudah tanpa kesulitan. Kedua kelapa itu lalu digendong ibunda calon ibu dengan kain layaknya menggendong bayi.

Lalu calon ayah mengambil salah satu kelapa yg digendong ibunda calon ibu tanpa boleh melihat, jika yg diambil kelapa bergambar Dewi Ratih kelak anaknya perempuan dan kalau yg diambil bergambar Kamajaya kelak anaknya laki2. Lalu kelapa ini dibelah oleh calon ayah, cara membelah nya juga menunjukkan jenis kelamin calon bayi. Jika membelahnya tidak tepat di tengah, maka menunjukkan berjenis kelamin perempuan.

Upacara memutus lilitan janur/lawe yang dilingkarkan di perut calon ibu.

Lilitan ini harus diputus oleh calon ayah dengan maksud memutuskan segala bencana yang menghadang kelahiran bayi sehingga kelahiran berjalan dengan lancar.

Upacara ganti busana dengan 7 buah motif kain yang berbeda.

Dengan harapan agar kelak si bayi juga memiliki kebaikan-kebaikan yang tersirat dalam lambang kain2 tersebut. Tiap tamu akan ditanya oleh ibu pemandu upacara apa calon ibu sudah cocok memakai kain tersebut, dan serempak para tamu akan menjawab ”Beluuuuuuumm”..sampai dengan kain ke 7, baru ”Sudah panteeeeesss.......” Nanti nya dengan kain ke 7 yg sudah pantas itu, calon ibu didandani oleh perias untuk mengenakan kebaya dan motif yg terbaik lengkap dengan riasan yg cantik juga, untuk selanjutnya akan berjualan rujak bersama suami.

Motif kain tersebut adalah:
- sidomukti (melambangkan kebahagiaan),
- sidoluhur (melambangkan kemuliaan),
- truntum (melambangkan agar nilai-nilai kebaikan selalu dipegang teguh),
- parangkusuma (melambangkan perjuangan untuk tetap hidup),
- semen rama (melambangkan agar cinta kedua orangtua yang sebentar lagi menjadi bapak-ibu tetap bertahan selma-lamanya/tidak terceraikan),
- udan riris (melambangkan harapan agar kehadiran dalam masyarakat anak yang akan lahir selalu menyenangkan),
- cakar ayam (melambangkan agar anak yang akan lahir kelak dapat mandiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya).
- Kain terakhir yang tercocok adalah kain dari bahan lurik bermotif lasem dengan kemben motif dringin.

Rujakan
Terakhir adalah rujakan, di mana rasa rujak yg dibuat oleh calon ibu, juga menentukan jenis kelamin bayi yg akan dilahirkan. Jika rujaknya pedas, mengindikasikan si bayi berjenis kelamin perempuan. Lalu para tamu diperkenankan membeli rujak dengan uang kreweng dari tanah liat.

proses pernikahan adat jawa

Di bumi Indonesia yang kaya akan ragam budaya, adat istiadat yang dimiliki beragam pula. Termasuk di dalamnya prosesi pernikahan.
Adat Jawa misalnya. Kebanyakan orang hanya mengenal proses siraman dan midodareni. Padahal ada beberapa proses lain yang tak kalah pentingnya. Walau terkesan njelimet, tak ada salahnya kan jika Anda mengenal lebih jauh prosesi pernikahan adat Jawa.
Proses pernikahan adat Jawa dimulai dengan Siraman yang dilakukan sebagi proses pembersihan jiwa dan raga yang dilakukan sehari sebelum ijab kabul.
Ada 7 Pitulungan (penolong) yang melakukan proses siraman. Airnya merupakan campuran dari kembang setaman yang disebut Banyu Perwitosari yang jika memungkinkan diambil dari 7 mata air. Diawali siraman oleh orangtua calon pengantin, acara siraman ditutup oleh siraman pemaes yang kemudian memecahkan kendi.
Beranjak malam, acara dilanjutkan dengan Midodareni, yaitu malam kedua mempelai melepas masa lajang. Dalam acara Midodareni yang digelar di kediaman perempuan ini, ada acara nyantrik untuk memastikan pengantin laki-laki akan hadir pada ijab kabul dan kepastian bahwa keluarga mempelai perempuan siap melaksanakan perkawinan dan upacara panggih di hari berikutnya.
Upacara Panggih
Usai acara akad nikah dilakukan upacara Panggih, di mana kembang mayang dibawa keluar rumah dan diletakkan di persimpangan dekat rumah yang tujuannya untuk mengusir roh jahat. Setelah itu pengantin perempuan yang bertemu pengantin laki-laki akan melanjutkan upacara dengan melakukan :
1. Balangan suruh
Melempar daun sirih yang melambangkan cinta kasih dan kesetiaan
2. Wiji dadi
Mempelai laki-laki menginjak telur ayam hingga pecah, kemudian mempelai perempuan akan membasuh kaki sang suami dengan air bunga. Proses ini melambangkan seorang suami dan ayah yang bertanggung jawab terhadap keluarganya.
3. Pupuk
Ibu mempelai perempuan mengusap mempelai mantu laki-laki sebagai tanda ikhlas menerimanya sebagai bagian dari keluarga.
4. Sinduran
Berjalan perlahan-lahan dengan menyampirkan kain sindur sebagai tanda bahwa kedua mempelai sudah diterima sebagai keluarga.
5. Timbang
Kedua mempelai duduk di pangkuan bapak mempelai perempuan sebagai tanda kasih sayang orangtua terhadap anak dan menantu sama besarnya.
6. Kacar-kucur
Kacar-kucur yang dituangkan ke pangkuan perempuan sebagai simbol pemberian nafkah.
7. Dahar Klimah
Saling menyuapi satu sama lain yang melambangkan kedua mempelai akan hidup bersama dalam susah maupun senang.
8. Mertui
Orangtua mempelai perempuan menjemput orangtua mempelai laki-laki di depan rumah untuk berjalan bersama menuju tempat upacara.
9. Sungkeman
Kedua mempelai memohon restu dari kedua orangtua.

Rumah Adat

Rumah adat di Indonesia bermacam-macam bentuknya dan mempunyai nilai seni masing-masing. Karena  rumah merupakan suatu yang sangat penting, selain sebagai tempat tinggal rumah berfungsi untuk melindungi dari tantangan alam dan lingkungannya. Kita juga dapat melakukan aktivitas penting didalamnya,  tidak hanya diluar rumah saja.
Coba kita lihat salah satu dari rumah adat yang ada di Indonesia, yaitu rumah adat Jawa. Rumah Jawa lebih dari sekedar tempat tinggal. Masyarakat Jawa lebih mengutamakan moral kemasyarakatan dan kebutuhan dalam mengatur warga semakin menyatu dalam satu kesatuan.
Contohnya saja kita lihat rumah adat dari Provinsi Jawa Tengah yaitu rumah joglo. Joglo merupakan rumah adat Jawa Tengah yang terbuat dari kayu. Rumah bentuk ini mempunyai nilai seni yg cukup tinggi dan hanya dimiliki orang yang mampu. Pada masa lampau masyarakat jawa yang mempunyai rumah joglo hanya kaum bangsawan seperti sang pangeran dan kaum orang yang terpandang, karena rumah ini butuh bahan bngunan yang lebih banyak dan mahal dari pada rumah bentuk lain. Di zaman yang semakin maju ini rumah digunakan oleh segenap lapisan masyarakat dan juga untuk berbagai fungsi lain, seperti gedung pertemuan dan kantor-kantor.
Pada dasarnya, rumah bentuk joglo berdenah bujur sangkar. Pada mulanya bentuk ini mempunyai empat pokok tiang di tengah yang di sebut saka guru, dan digunakan blandar bersusun yang di sebut tumpangsari. Blandar tumpangsari ini bersusun ke atas, makin ke atas makin melebar. Jadi awalnya hanya berupa bagian tengah dari rumah bentuk joglo zaman sekarang. Perkembangan selanjutnya, diberikan tambahan-tambahan pada bagian-bagian samping, sehingga tiang di tambah menurut kebutuhan. Selain itu bentuk denah juga mengalami perubahan menurut penambahannya. Perubahan-perubahan tadi ada yang hanya bersifat sekedar tambahan biasa, tetapi ada juga yang bersifat perubahan konstruksi.
Sirkulasi keluar masuknya udara pada rumah joglo sangat baik karena penghawaan pada rumah joglo ini dirancang dengan menyesuaikan dengan lingkungan sekitar. rumah joglo, yang biasanya mempunyai bentuk atap yang bertingkat-tingkat, semakin ke tengah, jarak antara lantai dengan atap yang semakin tinggi dirancang bukan tanpa maksud, tetapi tiap-tiap ketinggian atap tersebut menjadi suatu hubungan tahap-tahap dalam pergerakan manusia menuju ke rumah joglo dengan udara yang dirasakan oleh manusia itu sendiri.
Ciri khas atap joglo, dapat dilihat dari bentuk atapnya yang merupakan perpaduan antara dua buah bidang atap segi tiga dengan dua buah bidang atap trapesium, yang masing-masing mempunyai sudut kemiringan yang berbeda dan tidak sama besar. Atap joglo selalu terletak di tengah-tengah dan selalu lebih tinggi serta diapit oleh atap serambi. Bentuk gabungan antara atap ini ada dua macam, yaitu: Atap Joglo Lambang Sari dan Atap Joglo Lambang Gantung. Atap Joglo Lambang Sari mempunyai ciri dimana gabungan atap Joglo dengan atap Serambi disambung secara menerus, sementara atap Lambang Gantung terdapat lubang angin dan cahaya.
Rumah adat joglo yang merupakan rumah peninggalan adat kuno dengan karya seninya yang bermutu memiliki nilai arsitektur tinggi sebagai wujud dan kebudayaan daerah yang sekaligus merupakan salah satu wujud seni bangunan atau gaya seni,bahan bangunanya pun terdiri dari bahan-bahan yang berkualitas dan cukup mahal harganya, bangunanya pun sangat kokoh dengan pondasi yang sangat kuat oleh karena itu rumah ini sangat istimewa bagi adat jawa dan sangat dijaga kelestariannya sampai saat ini. Oleh karena itu rumah joglo adalah salah satu rumah yang berpengaruh bagi kelestarian adat daerah yang ada di Indonesia meskipun adat-adat daerah lain banyak juga yang mempunyai rumah adat yang mempunyai seni tersendiri.